Saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan fenomena “sianida”
yang dimulai dari awal tahun 2016 hingga saat ini prosesnya masih berjalan.
Banyak masyarakat yang menginginkan persidangan ini cepat selesai dengan
menjadikan Jessica Kumala Wongso yang selanjutnya disingkat JKW segera diputus
bersalah. Mereka berani berpendapat hanya dengan mengikuti alur dari siapa yang
memesan kopi hingga akhirnya Mirna meninggal dunia lebih mengarah ke JKW. Tak salah,
itu hanya presepsi dan faktanya seorang hakim pun belum berani mengatakan JKW
bersalah karena masih proses persidangan.
Menjadi tersangka atau terdakwa bukanlah sesuatu yang
menyenangkan, ya memang, lalu bagaimana bisa kita menginginkan seseorang yang
belum tentu bersalah diputus bersalah sedangkan kita tau menjadi terdakwa saja
sudah merupakan pesakitan.
Mungkin karena gampangnya mengakses informasi dari mana saja
membuat seseorang bisa belajar sendiri tentang suatu hal, mendapatkan “pencerahan”
tentang suatu permasalahan dll. Dan hal ini juga yang menjadikan masyarakat
yang tak pernah belajar hukum mencoba menjadi hakim atas kemerdekaan orang
lain. Sering saya diminta pendapat oleh teman-teman seperjuangan di fakultas
hukum dan juga oleh teman-teman yang bukan fakultas hukum. Mereka meminta
pendapat saya sebagai orang yang belajar hukum, ya saya jawab dan anehnya
beberapa dari mereka memiliki logika konyol dengan mengaitkan perkara dengan
komik conan.
Dari awal dikatakan bahwa JKW lolos lie detector, lolos inilah itulah dan tak terlihat di cctv dia
menuangkan racun lah apalah bahkan hanya karena melihat ke cctv sudah diduga
memiliki niat mencari tempat aman untuk memasukkan racun. Seandainya saya
melihat cctv dan kebetulan ada kasus pencurian, dengan serta merta saya
dituduh, maka saya akan laporkan balik yang menuduh saya. Bahkan jika benar JKW
pelakunya terlihat di cctv namun disini Mirna tidak meninggal, maka dia hanya
dikenakan percobaan pembunuhan, lalu bagaimana ceritanya jika tidak terlihat
dia yang memasukkan racun tapi dia dituduh masyarakat sebagai pembunuh? Bukan hanya
dia yang menanggung sanksi, keluarganya juga, ya sanksi sosial yang lebih kejam
dari sanksi pidana.
Sanksi sosial yang dikenakan hanya beralaskan pemahaman
cetek mereka tadi, lalu jika ternyata JKW bukan pelakunya maka masyarakat akan
melupakan begitu saja seakan-akan tak pernah menjadi “hakim”. Minta maaf? Tidak
mungkin! Mereka bersikap tak terjadi apa-apa. Jadi sebelum menghakimi orang
lain, coba refleksikan ke diri sendiri seperti misalnya sendainya itu saya atau
seandainya itu keluarga saya atau seandainya itu saudara saya, mungkin, mungkin
ya nalarnya akan lebih jalan. Kaitkan dari segala hal. Itulah kenapa jika
mendapat informasi harus dari berbagai aspek jangan Cuma satu sehingga tidak
seperti kerbau yang dicucuk hidungnya yang iya iya saja.
Bukan, saya bukan dalam rangka membela JKW. Hanya tergelitik
saja menulis tentang mereka yang berkoar-koar tentang hukum padahal membaca
buku hukum atau belajar hukum tidak pernah. Saya hanya melihat dari sudut
pandang yang berbeda dari “orang normal” (karena setelah ini pasti saya dianggap
aneh jadi sadar diri duluan). Dan lagi, buat yang belajar hukum tapi logikanya
stuck seperti jalanan di Jakarta, jangan lihat hukum seperti melihat dari
kacamata kuda. Hukum tidak berdiri sendiri, hukum butuh ilmu lain untuk
melengkapinya seperti filsafat, sosiologi, agama, dll.
Jadi stop menghakimi orang lain layaknya kamu tidak ingin
dihakimi oleh orang lain! Lebih baik lihat prosesnya jika terdapat kejanggalan bukannya masyarakat bisa membuat petisi? atau jadilah orang hukum dan ciptakan hukum yang sempurna, itu juga kalo kamu masih idealis.
0 comments:
Post a Comment