THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Thursday 29 December 2016

Pergilah

Empat tahun yang lalu aku memutuskan untuk tak membuka hati kepada siapapun, namun tahun ketiga aku gagal. Aku jatuh cinta pada seseorang yang membuatku tak bisa melupakannya hampir setahun. Bahkan tanpa ada hubungan saat itu. Hingga aku menyadari aku adalah tipe orang yang sulit jatuh cinta, tapi saat jatuh cinta aku akan jatuh sangat dalam. Kemudian kuputuskan untuk lebih berhati-hati meletakkan hati.

Lalu kemudian kamu datang dengan membawa semua lukamu.
Menceritakan keterpurukan hidupmu. Menyentuh dasar hati seorang yang apatis dan individulistis ini hingga bersimpati atas keluh kesahmu. Aku apatis, ya karena aku tak ingin bersinggungan dengan permasalahan orang lain. Aku individualistis, benar, karena aku merasa takkan ada orang yang mampu mencintaiku seperti aku mencintai diriku sendiri. Narsis memang tapi itulah penyebab kenapa aku menjadi individual.

Tapi tanpa mampu menolak, mendengar semua kesakitanmu membuatku ingin membalut lukamu. Menyembuhkannya sampai tak berbekas.

Malam-malam sejak saat itu, adalah malam yang selalu dihabiskan bersamamu. Mendengar suaramu, membaca tulisanmu, dan memikirkanmu adalah kegemaranku. Aku jatuh cinta? Belum, untuk saat itu masih belum. Kau melakukan semua tingkah konyol yang membuatku makin lama makin merindukan bila tak kau lakukan. Dan sejak saat itu kusadari aku merindukanmu bila tak ada kabar. Apakah aku sudah jatuh cinta? Belum, sepertinya belum.

Hingga saatnya kita “seperti” memulai sebuah hubungan tanpa kata maukah kau menjadi kekasihku layaknya anak remaja berpacaran. Aku cukup yakin atas perasaanmu kepadaku, walau aku pun tak tau apa yang membuatku yakin, tapi ya sudahlah kuputuskan untuk jatuh hati padamu.

Waktu terus berlalu hingga kamu mulai meraih impianmu sedikit demi sedikit. Aku pun berbangga atas pencapaianmu saat itu. Ingin rasanya aku pamer ke seluruh dunia bahwa aku bangga memilikimu. Dan beberapa hari kemudian aku dengan keisenganku mengetik namamu di mesin pencari hingga aku menemukan satu blog milikmu. Kubaca posting terbarunya. Kau mempersembahkan pencapaianmu untuk ayahmu, keluargamu, dan dia yang mengkhianatimu. Tak ada namaku, sudah kupastikan ternyata memang tak ada namaku. Saat aku meminta klarifikasi, kamu malah menyalahkanku atas yang sudah kutemukan. Ok, satu luka tlah terukir.

Aku masih belum sadar aku mencintaimu sampai saatnya tiba, dia yang pernah ada dimasa lalumu kembali datang menghampiri dimasamu saat ini. Aku cukup kecewa ketika kamu masih menanggapinya. Bukankah kamu terpuruk karenanya, hingga mampu membuatku bertahan disisimu untuk jadi orang yang diandalkan berbagi lukamu? Oh iya tapi aku ingat kamu namanya masih terngiang ditelingamu, sekalipun mulutmu berkata membencinya. Dan lagi-lagi tak ada keinginanmu meyakinkanku bahwa hatimu memang sudah milikku.

Hari-hari kita lalui bersama. Jarang bertemu tak menjadi penghalang untukku. Kita mulai merencanakan masa depan bersama, dan bla bla  bla. Kita sama-sama meniti masa depan kita. Saat kamu berusaha, aku menyemangatimu. Saat kamu gagal, aku berupaya keras menghiburmu. Tapi aku tidak tau kamu ada dimana saat aku gagal tes masuk lembaga impianku atau saat keluargaku dalam masalah besar, sungguh aku tak merasakan hadirmu.

Saat keluargaku ada permasalahan, aku benar-benar terpuruk bahkan sampai menangis. Aku mengirim pesan suara kepadamu. Namun apa yang kamu lakukan, kamu hanya mendengar. Tak ada balasan, tak ada semangat. Bahkan keesokan harinya kamu menyapaku seakan tak ada yang terjadi semalam. Aku yang sedang stres tersulut emosi dan makin emosi mengetahui bahwa kamu melakukan aktivitas harimu dengan bermain badminton. Ok, aku cukup tau bahwa aku memang tak berarti.

Hingga selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya yang tak bisa disebut lagi disini. Kamu pun mulai jarang menghubungiku via apapun. Aku masih “berpositive thinking” bahwa kamu sedang sibuk menyelesaikan permaslahanmu yang cukup kita yang tau dan tak perlu ditulis disini. Hingga aku meninggalkan pesan via wa, kulihat masih belum ada tanda terbaca, tapi 3 jam kemudian kamu online dan tak ada tanda terbaca. Lalu sejam kemudian kamu balas. Aku masih mencoba bersikap biasa. Tapi seterusnya bahkan makin parah. Aku merasa telah cukup banyak menumpuk kekesalan kepadamu.

Lalu permasalahan berlanjut, kamu memintaku pacaran saja dengan orang-orang yang berusaha mendekatiku. Awalnya aku pikir bercanda. Tapi kenapa selalu? Dan pikiranku mulai merangkai, adakah kamu temukan yang baru hingga kamu selalu meminta seperti ini padaku? Aku tidak suka caramu. Kamu membuatku terlihat murahan dan tak bisa memantapkan hati, padahal aku selalu meyakinkanmu bahwa hati ini sudah berhenti mencari saat aku menemukanmu.

Tapi saat itu, saat natal,  menjadi saksi bahwa kita harus berpisah. Aku cukup terpukul atas apa yang terjadi. Tak bisa kusembunyikan aku memang sedih. Dan saat itu aku merasa bodoh kenapa bisa jatuh cinta dengan orang sepertimu. Awalnya kupikir kamu dewasa dan bisa membimbingku, tapi aku seperti berjalan sendiri walau saat bersamamu. Coba kamu ingat, siapa yang selalu berusaha mengadakan pertemuan? Siapa yang selalu berusaha membantu berpikir cara menyelesaikan masalahmu? Siapa yang? Ah sudahlah usahaku sepertinya tak perlu diungkit, mungkin kamu pun takkan ingat.

Hingga saat aku menulis ini pun aku masih merasa sedih. Sedih atas ketololanku yang tak berhati-hati meletakkan hati. Jika sudah seperti ini siapa yang bertanggung jawab? Sekarang kamu sudah benar-benar pergi dari hidupku. Pergilah, pergilah yang jauh dengan siapapun. Aku bukanlah orang yang akan menahanmu. Pergilah, aku pernah benar-benar sendiri saat sebelum bersamamu. Pergilah, aku sudah terbiasa melewati masa kelam dan masa terpurukku sendiri. Jadi ada atau tidak adanya dirimu, tak ada perubahan berarti dalam hidupku. Tapi aku sadar, cinta memang tidak bisa dibangun oleh satu orang. Dan mungkin kamu memang tidak pernah mencintaiku. Terima kasih telah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan jatuh cinta, meski kusesali rasa sakit ini kurasakan lagi.


0 comments:

Yoolasch

Followers