Empat tahun yang lalu aku
memutuskan untuk tak membuka hati kepada siapapun, namun tahun ketiga aku
gagal. Aku jatuh cinta pada seseorang yang membuatku tak bisa melupakannya
hampir setahun. Bahkan tanpa ada hubungan saat itu. Hingga aku menyadari aku adalah
tipe orang yang sulit jatuh cinta, tapi saat jatuh cinta aku akan jatuh sangat
dalam. Kemudian kuputuskan untuk lebih berhati-hati meletakkan hati.
Lalu kemudian kamu datang dengan
membawa semua lukamu.
Menceritakan keterpurukan hidupmu. Menyentuh dasar hati
seorang yang apatis dan individulistis ini hingga bersimpati atas keluh
kesahmu. Aku apatis, ya karena aku tak ingin bersinggungan dengan permasalahan
orang lain. Aku individualistis, benar, karena aku merasa takkan ada orang yang
mampu mencintaiku seperti aku mencintai diriku sendiri. Narsis memang tapi itulah
penyebab kenapa aku menjadi individual.
Malam-malam sejak saat itu,
adalah malam yang selalu dihabiskan bersamamu. Mendengar suaramu, membaca
tulisanmu, dan memikirkanmu adalah kegemaranku. Aku jatuh cinta? Belum, untuk
saat itu masih belum. Kau melakukan semua tingkah konyol yang membuatku makin
lama makin merindukan bila tak kau lakukan. Dan sejak saat itu kusadari aku
merindukanmu bila tak ada kabar. Apakah aku sudah jatuh cinta? Belum,
sepertinya belum.
Hingga saatnya kita “seperti”
memulai sebuah hubungan tanpa kata maukah kau menjadi kekasihku layaknya anak
remaja berpacaran. Aku cukup yakin atas perasaanmu kepadaku, walau aku pun tak
tau apa yang membuatku yakin, tapi ya sudahlah kuputuskan untuk jatuh hati
padamu.
Waktu terus berlalu hingga kamu
mulai meraih impianmu sedikit demi sedikit. Aku pun berbangga atas pencapaianmu
saat itu. Ingin rasanya aku pamer ke seluruh dunia bahwa aku bangga memilikimu.
Dan beberapa hari kemudian aku dengan keisenganku mengetik namamu di mesin
pencari hingga aku menemukan satu blog milikmu. Kubaca posting terbarunya. Kau mempersembahkan
pencapaianmu untuk ayahmu, keluargamu, dan dia yang mengkhianatimu. Tak ada
namaku, sudah kupastikan ternyata memang tak ada namaku. Saat aku meminta
klarifikasi, kamu malah menyalahkanku atas yang sudah kutemukan. Ok, satu luka
tlah terukir.
Aku masih belum sadar aku
mencintaimu sampai saatnya tiba, dia yang pernah ada dimasa lalumu kembali
datang menghampiri dimasamu saat ini. Aku cukup kecewa ketika kamu masih
menanggapinya. Bukankah kamu terpuruk karenanya, hingga mampu membuatku
bertahan disisimu untuk jadi orang yang diandalkan berbagi lukamu? Oh iya tapi
aku ingat kamu namanya masih terngiang ditelingamu, sekalipun mulutmu berkata
membencinya. Dan lagi-lagi tak ada keinginanmu meyakinkanku bahwa hatimu memang
sudah milikku.
Hari-hari kita lalui bersama. Jarang
bertemu tak menjadi penghalang untukku. Kita mulai merencanakan masa depan
bersama, dan bla bla bla. Kita sama-sama
meniti masa depan kita. Saat kamu berusaha, aku menyemangatimu. Saat kamu
gagal, aku berupaya keras menghiburmu. Tapi aku tidak tau kamu ada dimana saat
aku gagal tes masuk lembaga impianku atau saat keluargaku dalam masalah besar,
sungguh aku tak merasakan hadirmu.
Saat keluargaku ada permasalahan,
aku benar-benar terpuruk bahkan sampai menangis. Aku mengirim pesan suara
kepadamu. Namun apa yang kamu lakukan, kamu hanya mendengar. Tak ada balasan,
tak ada semangat. Bahkan keesokan harinya kamu menyapaku seakan tak ada yang
terjadi semalam. Aku yang sedang stres tersulut emosi dan makin emosi
mengetahui bahwa kamu melakukan aktivitas harimu dengan bermain badminton. Ok, aku
cukup tau bahwa aku memang tak berarti.
Hingga selanjutnya, selanjutnya
dan selanjutnya yang tak bisa disebut lagi disini. Kamu pun mulai jarang
menghubungiku via apapun. Aku masih “berpositive thinking” bahwa kamu sedang
sibuk menyelesaikan permaslahanmu yang cukup kita yang tau dan tak perlu
ditulis disini. Hingga aku meninggalkan pesan via wa, kulihat masih belum ada
tanda terbaca, tapi 3 jam kemudian kamu online dan tak ada tanda terbaca. Lalu sejam
kemudian kamu balas. Aku masih mencoba bersikap biasa. Tapi seterusnya bahkan
makin parah. Aku merasa telah cukup banyak menumpuk kekesalan kepadamu.
Lalu permasalahan berlanjut, kamu
memintaku pacaran saja dengan orang-orang yang berusaha mendekatiku. Awalnya aku
pikir bercanda. Tapi kenapa selalu? Dan pikiranku mulai merangkai, adakah kamu
temukan yang baru hingga kamu selalu meminta seperti ini padaku? Aku tidak suka
caramu. Kamu membuatku terlihat murahan dan tak bisa memantapkan hati, padahal
aku selalu meyakinkanmu bahwa hati ini sudah berhenti mencari saat aku
menemukanmu.
Tapi saat itu, saat natal, menjadi saksi bahwa kita harus berpisah. Aku cukup
terpukul atas apa yang terjadi. Tak bisa kusembunyikan aku memang sedih. Dan saat
itu aku merasa bodoh kenapa bisa jatuh cinta dengan orang sepertimu. Awalnya kupikir
kamu dewasa dan bisa membimbingku, tapi aku seperti berjalan sendiri walau saat
bersamamu. Coba kamu ingat, siapa yang selalu berusaha mengadakan pertemuan? Siapa
yang selalu berusaha membantu berpikir cara menyelesaikan masalahmu? Siapa yang?
Ah sudahlah usahaku sepertinya tak perlu diungkit, mungkin kamu pun takkan
ingat.
Hingga saat aku menulis ini pun
aku masih merasa sedih. Sedih atas ketololanku yang tak berhati-hati meletakkan
hati. Jika sudah seperti ini siapa yang bertanggung jawab? Sekarang kamu sudah
benar-benar pergi dari hidupku. Pergilah, pergilah yang jauh dengan siapapun. Aku
bukanlah orang yang akan menahanmu. Pergilah, aku pernah benar-benar sendiri
saat sebelum bersamamu. Pergilah, aku sudah terbiasa melewati masa kelam dan
masa terpurukku sendiri. Jadi ada atau tidak adanya dirimu, tak ada perubahan
berarti dalam hidupku. Tapi aku sadar, cinta memang tidak bisa dibangun oleh
satu orang. Dan mungkin kamu memang tidak pernah mencintaiku. Terima kasih
telah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan jatuh cinta, meski kusesali
rasa sakit ini kurasakan lagi.
0 comments:
Post a Comment