OLEH
FEBYOLA S.C HUTAGAOL S.H
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pencurian merupakan tindak pidana yang
umum terjadi di sekitar kita. Masyarakat biasanya menganggap tindak pidana
pencurian adalah hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat yang tidak mampu,
sehingga untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus melakukan tindak pidana
pencurian tersebut.
Penyimpangan
nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian, perzinaan,
ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama
baik orang yang baik-baik dan sebagainya merupakan bentuk tingkah laku
menyimpang yang menimbulkan persoalan. Dengan demikian fungsi hukum yakni
sebagai menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat
dari sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai fungsi
untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu.
[1]
Namun banyak kasus yang kita ketahui bahwa dalam hal mencukupi kebutuhannya
mereka terpaksa melakukan tindakan pencurian. Bahkan sebagian dari para pelaku
pencurian tersebut tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan
hukum, seperti yang dilakukan oleh nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao di
perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) bahkan untuk perbuatannya itu dia
dikenakan 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan.[2]
Kasus nenek Minah membuat penulis ingin
menelaah kasus tersebut lebih lanjut karena berdasarkan hukum postif, nenek
Minah dikenakan hukuman 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan
sedangkan dalam hukum pidana Islam diatur mengenai sanksi yang berbeda. Adapun
mengenai sanksi tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
Diharapkan melalui makalah ini dapat memberikan pengetahuan mengenai tindak
pidana pencurian baik itu pengertian, jenis-jenis, maupun sanksi yang diberikan
dalam hukum pidana Islam sehingga masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam
mengetahui bahwa ada hukum Islam yang mengatur mengenai tindak pidana pencurian
selain hukum pidana positif.
A.
Identifikasi
Masalah
1. Bagaimanakah
hukum pidana Islam mengatur secara umum mengenai tindak pidana pencurian?
2. Bagaimana
hukum pidana Islam memandang pencurian sebagai suatu keharusan demi
kelangsungan hidup?
B.
Tujuan
dan Kegunaan Penulisan
1. Untuk
mengetahui secara umum mengenai tindak
pidana pencurian dalam hukum pidana Islam; dan
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan
hukum pidana Islam terhadap suatu pencurian yang dilakukan demi kelangsungan
hidup.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencurian Dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam
Mencuri merupakan salah satu dari sekian
dosa besar yang berakibat adanya had bagi
pelakunya. Mencuri diartikan sebagai perbuatan mengambil harta dari pemiliknya
atau wakilnya dengan cara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui pemiliknya). Bila
dilihat dari sifatnya mencuri adalah perbuatan dengan sifat melawan hukum,
adapun dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtlijk (weder = bertentangan dengan, recht = hukum).[3] Adapun merampas, merampok, menjambret, menipu,
atau mengkhianati bukan termasuk dari kategori mencuri dan orang tersebut tidak
dikenai had potong tangan.[4]
Dalam arti bahasa (etimologi), pencurian (sirqoh)
adalah mengambil harta secara diam-diam.[5]
Allah
berfirman di dalam Surah Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”[6]
Tindak
pidana pencurian dalam hukum Islam memiliki rukun pencurian, adapun rukun
pencurian itu adalah sesuatu yang sangat urgen sehingga bila salah satu rukun
dari pencurian tidak ada, maka pencurian tersebut dianggap bukan sebagai
pencurian yang sempurna, maka secara otomatis hukuman had bagi pencuri yaitu potong tangan tidak akan dieksekusi, menurut
Abdul Qadir Audah ada 4 (empat) yaitu:
1.
Mengambil secara sembunyi-sembunyi atau
secara diam-diam;
2. Sesuatu
yang diambil itu adalah harta;
3. Harta
tersebut milik atau kepunyaan orang lain;
4. Ada
maksud atau niat jahat atau niat berbuat tindak pidana (mencuri).[7]
Abd
al –Rahman al-Jaziri, bahwa rukun pencurian itu ada 3 (tiga) buah, yaitu
sebagai berikut :
1. Pencuri;
2. Barang/benda/harta
yang dicuri;
3. Perbuatan
mencuri.[8]
Syarat-syarat
yang berkaitan dengan si pelaku adalah sebagai berikut:[9]
1. Taklif
Pelaku pencurian disyaratkan harus mukallaf, yakni baliqh dan
berakal. Dengan demikian tidak ada hukuman had
bagi orang gila dan anak dibawah umur yang melakukan pencurian, karena
keduanya bukan orang mukallaf.
Berhubungan dengan tindak kriminal
setiap mukallaf dan masalah pidananya
bagi se pelaku kriminal. Dimaksudkan dengan hukum ini, pemeliharaan stabilitas
kehidupan manusia dan harta kekayaannya, kehormatannya, dan kewajibannya. Juga
membatasi hubungan korban tindak pidana dengan pelakunya dan dengan umat.[10]
2. Ikhtiar
Pelaku pencurian dalam melaksanakan
perbuatannya harus sepenuhnya atas pilihannya sendiri bukan karena desakan dan
tekanan dari pihak lain. Apabila pencurian dilakukan karena tekanan dan paksaan
dari orang lain, maka si pelaku tidak dikenakan hukuman.
3. Tidak
ada Syuhbat dalam kaitan dengan si
pelaku
Antara pelaku pencurian dan pemilik
barang disyaratkan tidak ada syuhbat. Apabila
ada syuhbat, maka si pelaku tidak
dikenakan hukuman potong tangan. Yang termasuk syuhbat disini seperti adanya hubungan orang tua dan anak. Dengan
demikian, apabila orang tua mencuri harta anaknya, maka ia tidak dikenakan
hukuman potong tangan. Ketentuan ini juga berlaku untuk ibu dan kakek. Demikian
pula kebalikannya, yaitu anak tidak dipotong tangannya karena mencuri harta
orang tuanya.
Pencurian antara anak dan ayah,
antara suami-isteri tidak boleh diajukan ke pengadilan kecuali orang yang
dicuri menuntut menurut undang-undang. Diqiyaskan kepadanya, merampas dengan
kekerasan dan segala pidana seumur hidup diantara mereka, karena hubungan
keluarga dan suami-isteri.[11]
Pencurian dalam syariat Islam ada 2
(dua) macam yaitu sebagai berikut:[12]
1. Pencurian
yang hukumannya had
Pencurian yang hukumannya had terbagi kepada dua bagian yaitu:
a) Pencurian
ringan, pencurian ringan menurut rumusan yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam yaitu dengan
jalan sembunyi-sembunyi.
b) Pencurian
berat, mengambil harta milik orang lain dengan cara kekerasan.
2. Pencurian
yang hukumannya ta’zir
Pencurian yang hukumannya ta’zir juga dibagi kepada dua bagian
yaitu:
a)
Semua jenis pencurian yang dikenai
hukuman had, tetapi syarat-syarat
tidak terpenuhi atau ada syuhbat. Contohnya
seperti pengambilan harta milik anak oleh ayahnya.
b)
Pengambilan harta milik orang lain
dengan sepengetahuan pemilik tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya
seperti menjambret kalung dari leher seorang wanita, lalu penjambret itu
melarikan diri dan pemilik barang tersebut melihatnya sambil berteriak meminta
bantuan.
Jarimah
pencurian termasuk salah satu jarimah yang jarimah yang hukumannya secara
eksplisit disebutkan dalam Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa pencurian merupakan
jarimah yang sangat berbahaya, karena ia mengancam salah satu sendi kehidupan
manusia, yaitu harta benda. Dalam syariat Islam, harta termasuk salah satu
kebutuhan pokok yang harus dijaga dan dilindungi. Setiap perpindahan hak milik
dari seseorang kepada orang lain dengan cara yang melawan hukum, hukumnya
dilarang dan dengan sendirinya merupakan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman.[13]
Syarat-syarat yang berkaitan dengan
barang yang dicuri adalah sebagai berikut:[14]
1.
Barang yang dicuri adalah benda yang
bergerak
Pencurian
disyaratkan terjadi pada benda yang bergerak, yaitu benda yang bisa dipindahkan
dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini oleh karena pencurian menghendaki
dipindahkannya suatu barang dan mengelurkannya dari tempat simpanannya, untuk
kemudian memindahkannya dari kekuasaan si korban ke dalam kekuasaan si pelaku.
Dalam hukum positif mengenai benda bergerak diatur dalam Bagian IV Bab I Buku
II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai dari Pasal 509 hingga Pasal 518.[15]
2.
Barang yang dicuri harus Mal Mutaqawwim
Mal Mutaqawwim adalah
barang yang bernilai menurut pandangan Syara’. Ciri dari Mal Mutaqawwim adalah:
a) Barangnya
bisa dimiliki secara langsung;
b) Barangnya
dibolehkan oleh Syara’ untuk diambil manfaatnya;
3. Barang
yang dicuri adalah barang yang tersimpan (Muhraz)
Untuk dapat dikenakan hukuman had disyaratkan barang yang dicuri harus
tersimpan. Apabila barang tersebut tidak tersimpan di tempat simpanannya maka
si pelaku tidak dikenakan hukuman had.
4. Harta
yang dicuri mencapai Nishab
Syarat yang keempat untuk
dikenakannya hukuman potong tangan ialah barang yang dicuri harus mencapa nishab atau batas minimal untuk potong
tangan. Di kalangan jumhur sendiri tidak ada kesepakatan mengenai besarnya
kadar nishab ini.
Untuk
membuktikan tindak pidana pencurian, digunakan dua alat bukti sebagai berikut:[16]
1. Dua
orang saksi yang memenuhi syarat-syarat persaksian
Dalam kenyataan banyak orang yang tidak melakukan
kewajiban atau melanggar larangan yang terlepas dari hukuman karena pada waktu
ia tidak melakukan kewajiban atau melakukan larangan itu tidak disaksikan orang
lain, sehingga tidak bisa dibuktikan. Atau sebaliknya sekalipun seseorang tidak
melakukan yang dilarang, tetapi karena ada saksi (palsu), maka ia dijatuhi
hukuman.[17]
2. Pengakuan
yang cukup dinyakatakan satu kali, tetapi menurut Imam Ahmad, Ishak, dan Ibnu
Abi Layla pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
Apabila
jarimah pencurian sudah dapat dibuktikan, baik dengan saksi maupun pengakuan,
maka si pelaku dikenai hukuman potong tangan. Hukuman potong tangan merupakan
hak Allah (hak masyarakat) yang tidak bisa digugurkan oleh individu. Namun demikian
menurut Imam Abu Hanifa dalam pelaksanaannya diperlukan pengaduan dan tuntutan
dari pihak si korban. Tetapi menurut Imam Malik, untuk pelaksanaan hukuman
potong tangan tidak diperlukan pengaduan dan tuntutan dari pihak si korban.[18] Dibagian
ayat 164 Surah Al-An’am Allah menyatakan “Bahwa
setiap pribadi yang melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan
yang dilakukannya” ini berarti tidak boleh sekali-kali beban (dosa)
seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain.[19]
Setelah dengan kemampuan akalnya manusia meneliti dunianya dan dirinya sendiri,
dan kemudian mengerti bahwa hakikat diciptakannya manusia dan alam semesta ini
semata-mata untuk menyembah kepada Tuhan, maka sebagai konsekuensi diberikan
kedudukan yang istimewa oleh Tuhan pada manusia seperti tersebut di atas, maka
manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah
dilakukan di dunia ini.[20]
Mencuri
sebuah obyek tertentu yang di bawah keadaan-keadaan tertentu disifati sebagai
sebuah pencurian, dan sebagai sebuah hukuman dan pencegahan, hukuman potong
tangan dilembagakan.[21]
Dalam hukum positif potong tangan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk
pemidanaan. Pemidaan bisa diartikan sebagai tahap pemberian sanksi dalam hukum
pidana. G.P.Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas, dikatakannya bahwa
sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan
terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. [22]
Namun itu berdasarkan pendapat ahli dari Barat dan kembali lagi kepada hukum
pidana Islam untuk ditelaah.
[1]
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, SINAR
GRAFIKA, Jakarta, 2006, hlm 90.
[2] https://m.detik.com/news/berita/1244955/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari
diakses pada Tanggal 27 Oktober 2015 pukul 10.37 WIB.
[3] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, PT
RAJAGRAFINDO PERSADA, Depok, 2014, hlm 67.
[4]
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam
Sistem Hukum Islam, GHALIA INDONESIA, Bogor, 2009, hlm 32-33.
[5] Ahmad
Wardi Muslich,Hukum Pidana Menurut
Al-Quran,DIADIT MEDIA, Jakarta, 2007, hlm 240.
[6] Zainudin
Ali, Hukum Islam, SINAR GRAFIKA,
Jakarta, 2008, hlm 118.
[7] Mardani,
Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana
Islam, CV INDHILL CO, Jakarta, 2008, hlm 95.
[8]Idem, hlm 96
[9] Ahmad
Wardi Muslich,Op.Cit, hlm 242-243.
[10] Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2002, hlm 40.
[11]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, SINAR
GRAFIKA, Jakarta, 2007, hlm 88.
[12] Ahmad
Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, SINAR
GRAFIKA, Jakarta, 2005, hlm 81-82.
[13]. Ahmad
Wardi Muslich,Op.Cit, hlm 240.
[14] Idem, hlm 243-246.
[15] Kartni
Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan pada Umumnya, PRENADA MEDIA,
Jakarta, 2003, hlm 125.
[16] Idem, hlm 250.
[17]
Suparman Usman, Hukum Islam, GAYA
MEDIA PRATAMA, Jakarta, 2002, hlm 78-79.
[18] Idem, hlm 250-251.
[19] Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, PT
RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2004, hlm 131.
[20]
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, BUMI AKSARA, Jakarta, 2012, hlm 89.
[21] Wael B.
Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2001, hlm 126.
[22]
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum
Pidana, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2003, hlm 114-115.
0 comments:
Post a Comment