THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Friday 8 September 2017

PENYELESAIAN KASUS PENCURIAN DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM

OLEH
FEBYOLA S.C HUTAGAOL S.H


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pencurian merupakan tindak pidana yang umum terjadi di sekitar kita. Masyarakat biasanya menganggap tindak pidana pencurian adalah hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat yang tidak mampu, sehingga untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus melakukan tindak pidana pencurian tersebut.
       Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian, perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang baik-baik dan sebagainya merupakan bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan persoalan. Dengan demikian fungsi hukum yakni sebagai menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu.
[1] Namun banyak kasus yang kita ketahui bahwa dalam hal mencukupi kebutuhannya mereka terpaksa melakukan tindakan pencurian. Bahkan sebagian dari para pelaku pencurian tersebut tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan hukum, seperti yang dilakukan oleh nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) bahkan untuk perbuatannya itu dia dikenakan 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan.[2]
Kasus nenek Minah membuat penulis ingin menelaah kasus tersebut lebih lanjut karena berdasarkan hukum postif, nenek Minah dikenakan hukuman 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan sedangkan dalam hukum pidana Islam diatur mengenai sanksi yang berbeda. Adapun mengenai sanksi tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini. Diharapkan melalui makalah ini dapat memberikan pengetahuan mengenai tindak pidana pencurian baik itu pengertian, jenis-jenis, maupun sanksi yang diberikan dalam hukum pidana Islam sehingga masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam mengetahui bahwa ada hukum Islam yang mengatur mengenai tindak pidana pencurian selain hukum pidana positif.




A.    Identifikasi Masalah

1.      Bagaimanakah hukum pidana Islam mengatur secara umum mengenai tindak pidana pencurian?
2.      Bagaimana hukum pidana Islam memandang pencurian sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup?


B.     Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1.      Untuk mengetahui secara umum  mengenai tindak pidana pencurian dalam hukum pidana Islam; dan
2.  Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap suatu pencurian yang dilakukan demi kelangsungan hidup.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pencurian Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
       Mencuri merupakan salah satu dari sekian dosa besar yang berakibat adanya had bagi pelakunya. Mencuri diartikan sebagai perbuatan mengambil harta dari pemiliknya atau wakilnya dengan cara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui pemiliknya). Bila dilihat dari sifatnya mencuri adalah perbuatan dengan sifat melawan hukum, adapun dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtlijk (weder = bertentangan dengan, recht = hukum).[3]  Adapun merampas, merampok, menjambret, menipu, atau mengkhianati bukan termasuk dari kategori mencuri dan orang tersebut tidak dikenai had potong tangan.[4] Dalam arti bahasa (etimologi), pencurian (sirqoh) adalah mengambil harta secara diam-diam.[5]
       Allah berfirman di dalam Surah Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[6]
       Tindak pidana pencurian dalam hukum Islam memiliki rukun pencurian, adapun rukun pencurian itu adalah sesuatu yang sangat urgen sehingga bila salah satu rukun dari pencurian tidak ada, maka pencurian tersebut dianggap bukan sebagai pencurian yang sempurna, maka secara otomatis hukuman had bagi pencuri yaitu potong tangan tidak akan dieksekusi, menurut Abdul Qadir Audah ada 4 (empat) yaitu:
1.      Mengambil secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam;
2.      Sesuatu yang diambil itu adalah harta;
3.      Harta tersebut milik atau kepunyaan orang lain;
4.      Ada maksud atau niat jahat atau niat berbuat tindak pidana (mencuri).[7]

          Abd al –Rahman al-Jaziri, bahwa rukun pencurian itu ada 3 (tiga) buah, yaitu sebagai berikut :
1.      Pencuri;
2.      Barang/benda/harta yang dicuri;
3.      Perbuatan mencuri.[8]

Syarat-syarat yang berkaitan dengan si pelaku adalah sebagai berikut:[9]
1.      Taklif
Pelaku pencurian disyaratkan harus mukallaf, yakni baliqh dan berakal. Dengan demikian tidak ada hukuman had bagi orang gila dan anak dibawah umur yang melakukan pencurian, karena keduanya bukan orang mukallaf.
Berhubungan dengan tindak kriminal setiap mukallaf dan masalah pidananya bagi se pelaku kriminal. Dimaksudkan dengan hukum ini, pemeliharaan stabilitas kehidupan manusia dan harta kekayaannya, kehormatannya, dan kewajibannya. Juga membatasi hubungan korban tindak pidana dengan pelakunya dan dengan umat.[10]
2.      Ikhtiar
Pelaku pencurian dalam melaksanakan perbuatannya harus sepenuhnya atas pilihannya sendiri bukan karena desakan dan tekanan dari pihak lain. Apabila pencurian dilakukan karena tekanan dan paksaan dari orang lain, maka si pelaku tidak dikenakan hukuman.
3.      Tidak ada Syuhbat dalam kaitan dengan si pelaku
Antara pelaku pencurian dan pemilik barang disyaratkan tidak ada syuhbat. Apabila ada syuhbat, maka si pelaku tidak dikenakan hukuman potong tangan. Yang termasuk syuhbat disini seperti adanya hubungan orang tua dan anak. Dengan demikian, apabila orang tua mencuri harta anaknya, maka ia tidak dikenakan hukuman potong tangan. Ketentuan ini juga berlaku untuk ibu dan kakek. Demikian pula kebalikannya, yaitu anak tidak dipotong tangannya karena mencuri harta orang tuanya.
Pencurian antara anak dan ayah, antara suami-isteri tidak boleh diajukan ke pengadilan kecuali orang yang dicuri menuntut menurut undang-undang. Diqiyaskan kepadanya, merampas dengan kekerasan dan segala pidana seumur hidup diantara mereka, karena hubungan keluarga dan suami-isteri.[11]
Pencurian dalam syariat Islam ada 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut:[12]
1.      Pencurian yang hukumannya had
Pencurian yang hukumannya had terbagi kepada dua bagian yaitu:
a)      Pencurian ringan, pencurian ringan menurut rumusan yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam yaitu dengan jalan sembunyi-sembunyi.
b)      Pencurian berat, mengambil harta milik orang lain dengan cara kekerasan.

2.      Pencurian yang hukumannya ta’zir
Pencurian yang hukumannya ta’zir juga dibagi kepada dua bagian yaitu:
a)      Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat-syarat tidak terpenuhi atau ada syuhbat. Contohnya seperti pengambilan harta milik anak oleh ayahnya.
b)      Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari leher seorang wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik barang tersebut melihatnya sambil berteriak meminta bantuan.
            Jarimah pencurian termasuk salah satu jarimah yang jarimah yang hukumannya secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa pencurian merupakan jarimah yang sangat berbahaya, karena ia mengancam salah satu sendi kehidupan manusia, yaitu harta benda. Dalam syariat Islam, harta termasuk salah satu kebutuhan pokok yang harus dijaga dan dilindungi. Setiap perpindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain dengan cara yang melawan hukum, hukumnya dilarang dan dengan sendirinya merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman.[13]
            Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang dicuri adalah sebagai berikut:[14]
1.      Barang yang dicuri adalah benda yang bergerak
Pencurian disyaratkan terjadi pada benda yang bergerak, yaitu benda yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini oleh karena pencurian menghendaki dipindahkannya suatu barang dan mengelurkannya dari tempat simpanannya, untuk kemudian memindahkannya dari kekuasaan si korban ke dalam kekuasaan si pelaku. Dalam hukum positif mengenai benda bergerak diatur dalam Bagian IV Bab I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai dari Pasal 509 hingga Pasal 518.[15]
2.      Barang yang dicuri harus Mal Mutaqawwim
Mal Mutaqawwim adalah barang yang bernilai menurut pandangan Syara’. Ciri dari Mal Mutaqawwim adalah:
a)      Barangnya bisa dimiliki secara langsung;
b)      Barangnya dibolehkan oleh Syara’ untuk diambil manfaatnya;
3.      Barang yang dicuri adalah barang yang tersimpan (Muhraz)
Untuk dapat dikenakan hukuman had disyaratkan barang yang dicuri harus tersimpan. Apabila barang tersebut tidak tersimpan di tempat simpanannya maka si pelaku tidak dikenakan hukuman had.
4.      Harta yang dicuri mencapai Nishab
Syarat yang keempat untuk dikenakannya hukuman potong tangan ialah barang yang dicuri harus mencapa nishab atau batas minimal untuk potong tangan. Di kalangan jumhur sendiri tidak ada kesepakatan mengenai besarnya kadar nishab ini.
            Untuk membuktikan tindak pidana pencurian, digunakan dua alat bukti sebagai berikut:[16]
1.      Dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat persaksian
Dalam kenyataan banyak orang yang tidak melakukan kewajiban atau melanggar larangan yang terlepas dari hukuman karena pada waktu ia tidak melakukan kewajiban atau melakukan larangan itu tidak disaksikan orang lain, sehingga tidak bisa dibuktikan. Atau sebaliknya sekalipun seseorang tidak melakukan yang dilarang, tetapi karena ada saksi (palsu), maka ia dijatuhi hukuman.[17]
2.      Pengakuan yang cukup dinyakatakan satu kali, tetapi menurut Imam Ahmad, Ishak, dan Ibnu Abi Layla pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
Apabila jarimah pencurian sudah dapat dibuktikan, baik dengan saksi maupun pengakuan, maka si pelaku dikenai hukuman potong tangan. Hukuman potong tangan merupakan hak Allah (hak masyarakat) yang tidak bisa digugurkan oleh individu. Namun demikian menurut Imam Abu Hanifa dalam pelaksanaannya diperlukan pengaduan dan tuntutan dari pihak si korban. Tetapi menurut Imam Malik, untuk pelaksanaan hukuman potong tangan tidak diperlukan pengaduan dan tuntutan dari pihak si korban.[18] Dibagian ayat 164 Surah Al-An’am Allah menyatakan “Bahwa setiap pribadi yang melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya” ini berarti tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain.[19] Setelah dengan kemampuan akalnya manusia meneliti dunianya dan dirinya sendiri, dan kemudian mengerti bahwa hakikat diciptakannya manusia dan alam semesta ini semata-mata untuk menyembah kepada Tuhan, maka sebagai konsekuensi diberikan kedudukan yang istimewa oleh Tuhan pada manusia seperti tersebut di atas, maka manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di dunia ini.[20]
Mencuri sebuah obyek tertentu yang di bawah keadaan-keadaan tertentu disifati sebagai sebuah pencurian, dan sebagai sebuah hukuman dan pencegahan, hukuman potong tangan dilembagakan.[21] Dalam hukum positif potong tangan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Pemidaan bisa diartikan sebagai tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. G.P.Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas, dikatakannya bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan undang-undang, dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. [22] Namun itu berdasarkan pendapat ahli dari Barat dan kembali lagi kepada hukum pidana Islam untuk ditelaah.



[1] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, SINAR GRAFIKA, Jakarta, 2006, hlm 90.
[3] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Depok, 2014, hlm 67.
[4] Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, GHALIA INDONESIA, Bogor, 2009, hlm 32-33.
[5] Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Menurut Al-Quran,DIADIT MEDIA, Jakarta, 2007, hlm 240.
[6] Zainudin Ali, Hukum Islam, SINAR GRAFIKA, Jakarta, 2008, hlm 118.
[7] Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, CV INDHILL CO, Jakarta, 2008, hlm 95.
[8]Idem, hlm 96
[9] Ahmad Wardi Muslich,Op.Cit, hlm 242-243.
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2002, hlm 40.
[11] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, SINAR GRAFIKA, Jakarta, 2007, hlm 88.
[12] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, SINAR GRAFIKA, Jakarta, 2005, hlm 81-82.
[13]. Ahmad Wardi Muslich,Op.Cit, hlm 240.
[14] Idem, hlm 243-246.
[15] Kartni Muljadi dan Gunawan Widjaja,  Kebendaan pada Umumnya, PRENADA MEDIA, Jakarta, 2003, hlm 125.
[16] Idem, hlm 250.
[17] Suparman Usman, Hukum Islam, GAYA MEDIA PRATAMA, Jakarta, 2002, hlm 78-79.
[18] Idem, hlm 250-251.
[19] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2004, hlm 131.
[20] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, BUMI AKSARA, Jakarta, 2012, hlm 89.
[21] Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2001, hlm 126.
[22] Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2003, hlm 114-115.

0 comments:

Yoolasch

Followers