THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Saturday 19 March 2016

Upaya Hukum Kasasi Pada Putusan Bebas

CATATAN: Boleh copy paste atau dijadikan referensi tapi jangan plagiat! Anak hukum kok plagiat :p

BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
            Pada masa ini semakin banyak kasus yang berkembang dalam masyarakat dan penyelesaiannya dilakukan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan atau litigasi. Penyelesaian melalui litigasi ataupun di luar dari litigasi dapat dilakukan, namun Dr. Frans Hendra Winarta S.H., M.H. mengatakan bahwa dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.[1]
            Melalui proses litigasi inilah hakim pada akhirnya akan memberikan putusan untuk perkara yang sedang ditanganinya.
Pada hampir semua putusan pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, namun tidak serta-merta setiap putusan dapat dilakukan upaya hukum seperti yang telah disebutkan karena di dalam pasal 244 KUHAP berbunyi:
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
            Adapun putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP ialah:
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
Pada praktiknya, pengajuan kasasi pada putusan bebas seringkali dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Hal seperti ini sebenarnya dinilai melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena seperti yang telah disebutkan pada Pasal 244 KUHAP secara tegas menyatakan terhadap putusan bebas tidak boleh diajukan upaya kasasi, namun Moerino berpendapat bahwa kasasi terhadap putusan bebas merupakan terobosan hukum. Moerino juga mengatakan mengabulkan kasasi terhadap putusan bebas tidak bisa sembarangan. Syaratnya, jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa bukan dinyatakan bebas murni oleh pengadilan negeri. Apabila tidak diberikan kesempatan melalui kasasi, dikhawatirkan hakim Pengadilan Negeri dapat melakukan kesewenang-wenangan dan melalui ini diharapkan putusan hakim dapat dikoreksi.
            Putusan bebas sebenarnya dapat merugikan pihak korban maupun terdakwa. Bila ditinjau dari  sisi korban, korban akan merasa bahwa telah terjadi suatu ketidakadilan. Kondisi seperti ini dapat dengan mudah menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan akan menimbulkan kesan yang buruk terhadap putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan sebagai perlindungan ketertiban dan keadilan. Satu-satunya cara agar keadilan dapat tercapai adalah dengan mengajukan upaya hukum, dalam hal ini kasasi.
            Ditinjau dari sisi terdakwa, untuk beberapa waktu selama persidangan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang memang seharusnya dilakukan malah terpakai untuk persidangan yang mana perbuatan yang didakwakan kepadanya pun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
            Apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan kasasi dianggap dapat menimbulkan suatu ketidakpercayaan terhadap putusan hakim yang menimbulkan ketidakjelasan sehingga berujung kepada ketidakpastian hukum. Kepastian hukum sangatlah diperlukan bagi masyarakat, karena tanpa hukum yang pasti maka hukum akan sulit ditegakkan dan ketidakpercayaan ini akan menimbulkan keraguan masyarakat pada penyelesaian dengan melalui proses litigasi.
           
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disimpulkan identifikasi masalah yaitu:
1.        Mengapa upaya hukum kasasi dapat dilakukan untuk perkara yang diputus bebas?

C.    Tujuan Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui:
1.      Penyebab upaya hukum kasasi dapat dilakukan untuk perkara yang diputus bebas
Dan melalui makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sistem Peradilan Pidana.

  
BAB II
PEMBAHASAN


a.                  Upaya Kasasi Jika Dilihat dari Pasal 244 KUHAP

            Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1/1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 tahun 1981.
            Upaya kasasi terhadap putusan bebas yang diterima oleh Mahkamah Agung  memang selalu menjadi bahan bahan perdebatan. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan atas putusan-putusan MA yang terdapat di putusan.mahkamahagung.go.id untuk perkara korupsi saja setidaknya JPU pernah mengajukan kasasi atas putusan bebas sebanyak 38 kali, 12 diantaranya diterima dan dikabulkan oleh MA. berikut daftar putusan MA yang menerima dan mengabulkan kasasi atas putusan bebas :
1. 464 K/Pid/2005
2. 1144 K/Pid/2006
3. 1163 K/Pid/2005
4. 1384 K/Pid/2005
5. 1500 K/Pid/2006
6. 1528 K/Pid/2006
7. 1565 K/Pid/2004
8. 2010 K/Pid/2005
9. 2931 K/Pid/2006
10. 341 K/Pid/2006
11. 434 K/Pid/2001
12. 929 K/Pid/2004

            Mahkamah Agung, pada awalnya menyatakan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan pembebasan dari segala tuduhan tidak dapat diterima, karena dalam memori kasasi tidak memuat bantahan, bahwa pembebasan tersebut sesungguhnya suatu pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasarkan alasan bahwa pembebasan adalah tidak murni, juga tidak terdapat keberatan – keberatan bahwa pembebasan termaksud didasarkan atas tafsiran yang kurang benar atau kurang tepat (Putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juli 1974 No. 69 K/Kr/1973).
Oleh Mahkamah Agung dengan putusannya 1974 di atas, permohonan kasasi terhadap putusan bebas dari tuduhan oleh Jaksa tidak dapat diterima berdasarkan alasan tersebut di atas, oleh karena Jaksa tidak dapat mengajukan alasan bahwa pembebasan tersebut adalah tidak murni sifatnya ataukah karena tidak dapat diajukan bahwa ia merupakan suatu pelepasan dari segala tuntutan hukum yang terselubung sifatnya.
Karena putusan bebas murni itu adalah tidak kapabel, maka diperkembangkan oleh Yurisprudensi dan Ilmu Hukum bahwa permohonan kasasi yang didasarkan atas putusan yang tidak murni ataupun merupakan suatu “lepas dari segala tuntutan hukum” yang terselubung masih dapat diajukan sebagai dasar ataupun alasan untuk mengajukan permohonan kasasi.
Terdapat suatu konstruksi prosedural dalam putusan Mahkamah Agung, bahwa permohonan banding oleh Jaksa terhadap putusan bebas seharusnya tidak diterima, sedangkan dalam tingkatan kasasi Mahkamah Agung masih dapat menerimanya dengan alasan bahwa putusan bebas itu tidak murni sifatnya.[2]
Permohonan Jaksa untuk naik banding terhadap putusan bebas tersebut seharusnya dipandang ditujukan kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat kita simpulkan dari pertimbangan–pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung antara lain sebagai berikut:
Menimbang, bahwa seharusnya terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri itu, Jaksa langsung mengajukan ke Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung selaku badan peradilan tertinggi mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang – undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara adil, yang berarti demi melaksanakan tugas itu, yang tidak dimiliki oleh Pengadilan Tinggi, suatu putusan bebas yang mutlak tidak dapat dibanding, masih dapat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung.”
Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam pertimbangan:
“…. Mahkamah Agung menganggap adil apabila apa yang diajukan jaksa yakni mengajukan keberatan terhadap putusan bebas yang dijatuhkan ke Pengadilan Negeri harus diartikan sebagai ditujukan ke Mahkamah Agung.”
Meski secara yuridis normatif tindakan jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan bebas melanggar undang – undang, dalam hal ini KUHAP, akan tetapi hal ini tetap ada dalam praktek. ada beberapa alasan Jaksa/Penuntut Umum tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas antara lain :
1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ;
2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ;
3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Pengertian putusan pembebasan yang bersifat tidak murni dalam putusan Mahkamah Agung ini, telah diperluas dari pengertian yang selama ini dianut oleh yurisprudensi lama. Perluasan pengertian tersebut dalam urusan ini, telah meliputi pelanggaran batas wewenang yang bukan hanya melampaui batas wewenang dalam arti kompetensi absolut dan relatif, tetapi meliputi unsur – unsur nonyuridis.[3] Contoh yang paling mudah menanggapi makna pertimbangan yang tidak berupa unsur nonyuridis ialah pembebasan terdakwa didasarkan atas alasan pertimbangan politik, perikemanusiaan, agama, dan sebagainya.
Praktik pengajuan kasasi terhadap putusan bebas tetap berlangsung dan didukung oleh banyak ahli hukum. Alasannya Yahya Harahap berpendapat karena terlampau riskan memberi keluasan yang tidak terbatas bagi pengadilan tingkat pertama sehubungan dengan putusan bebas. Seolah–olah pengadilan tersebut berada dalam kedudukan tingkat pertama dan terakhir karena putusan bebas yang diambilnya tidak dapat diuji oleh instansi manapun. Jika hal ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan hakim yang mengadili di pengadilan tingkat pertama melakukan penyalahgunaan wewenang ditambah dengan adanya asas Nebis in Idem yang membuat perkara itu tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kasasi terhadap putusan bebas sebenarnya bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP, namun dengan adanya putusan bebas tidak murni atau pembebasan terdakwa didasarkan atas alasan pertimbangan politik, perikemanusiaan, agama, dan sebagainya (karena non yuridis) maka kasasi dapat diberlakukan. Dengan diberikannya kesempatan melalui kasasi, putusan hakim dapat dikoreksi dan juga diharapkan tidak terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam memberikan atau menjatuhkan putusan. 

Saran                                                 
Untuk masa yang akan datang mestinya dilakukan reformulasi terhadap esensi Pasal 244 KUHAP tersebut, yakni bahwa Jaksa Penuntut Umum hendaknya diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas sehingga ada kepastian hukum bagi para pencari keadilan.


Daftar Pustaka

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
M. Yahya HarahapPembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi keduaSinar Grafika, Jakarta, 1985.
Oemar Seno Adji, KUHAP SekarangErlangga, Jakarta, 1989.






[1] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 1.
[2] Oemar Seno Adji, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1989, hlm 162.
[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hlm 462.

0 comments:

Yoolasch

Followers