CATATAN: Boleh copy paste atau dijadikan referensi tapi jangan plagiat! Anak hukum kok plagiat :p
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada masa ini semakin banyak kasus
yang berkembang dalam masyarakat dan penyelesaiannya dilakukan dengan
penyelesaian melalui jalur pengadilan atau litigasi. Penyelesaian melalui
litigasi ataupun di luar dari litigasi dapat dilakukan, namun Dr. Frans Hendra Winarta S.H., M.H. mengatakan
bahwa dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama
lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif
penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.[1]
Melalui proses litigasi inilah hakim
pada akhirnya akan memberikan putusan untuk perkara yang sedang ditanganinya.
Pada hampir semua putusan pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, namun tidak serta-merta setiap putusan dapat dilakukan upaya hukum seperti yang telah disebutkan karena di dalam pasal 244 KUHAP berbunyi:
Pada hampir semua putusan pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, namun tidak serta-merta setiap putusan dapat dilakukan upaya hukum seperti yang telah disebutkan karena di dalam pasal 244 KUHAP berbunyi:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.”
Adapun
putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP ialah:
“Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.”
Pada
praktiknya, pengajuan kasasi pada putusan bebas seringkali dilakukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum. Hal seperti ini sebenarnya dinilai melanggar Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena seperti yang telah disebutkan
pada Pasal 244 KUHAP secara tegas menyatakan terhadap putusan bebas tidak boleh
diajukan upaya kasasi, namun Moerino berpendapat bahwa kasasi terhadap putusan
bebas merupakan terobosan hukum. Moerino juga mengatakan mengabulkan kasasi
terhadap putusan bebas tidak bisa sembarangan. Syaratnya, jaksa harus
membuktikan bahwa terdakwa bukan dinyatakan bebas murni oleh pengadilan
negeri. Apabila tidak diberikan kesempatan melalui kasasi, dikhawatirkan hakim
Pengadilan Negeri dapat melakukan kesewenang-wenangan dan melalui ini
diharapkan putusan hakim dapat dikoreksi.
Putusan
bebas sebenarnya dapat merugikan pihak korban maupun terdakwa. Bila ditinjau
dari sisi korban, korban akan merasa
bahwa telah terjadi suatu ketidakadilan. Kondisi seperti ini dapat dengan mudah
menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan akan
menimbulkan kesan yang buruk terhadap putusan pengadilan. Putusan pengadilan
yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan sebagai
perlindungan ketertiban dan keadilan. Satu-satunya cara agar keadilan dapat
tercapai adalah dengan mengajukan upaya hukum, dalam hal ini kasasi.
Ditinjau
dari sisi terdakwa, untuk beberapa waktu selama persidangan waktu yang
seharusnya bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang memang seharusnya
dilakukan malah terpakai untuk persidangan yang mana perbuatan yang didakwakan
kepadanya pun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Apabila
Jaksa/Penuntut Umum mengajukan kasasi dianggap dapat menimbulkan suatu
ketidakpercayaan terhadap putusan hakim yang menimbulkan ketidakjelasan
sehingga berujung kepada ketidakpastian hukum. Kepastian hukum sangatlah
diperlukan bagi masyarakat, karena tanpa hukum yang pasti maka hukum akan sulit
ditegakkan dan ketidakpercayaan ini akan menimbulkan keraguan masyarakat pada
penyelesaian dengan melalui proses litigasi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat disimpulkan identifikasi masalah yaitu:
1.
Mengapa upaya hukum kasasi dapat dilakukan untuk
perkara yang diputus bebas?
C. Tujuan Penulisan
Melalui
makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui:
1. Penyebab
upaya hukum kasasi dapat dilakukan untuk perkara yang diputus bebas
Dan melalui
makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sistem
Peradilan Pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Upaya Kasasi
Jika Dilihat dari Pasal 244 KUHAP
Kasasi
adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan
pada tingkat peradilan terakhir dimana menetapkan perbuatan
Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum,
kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan
terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU
No. 1/1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 tahun 1981.
Upaya kasasi terhadap putusan bebas
yang diterima oleh Mahkamah Agung memang
selalu menjadi bahan bahan perdebatan. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan
atas putusan-putusan MA yang terdapat di putusan.mahkamahagung.go.id
untuk perkara korupsi saja setidaknya JPU pernah mengajukan kasasi
atas putusan bebas sebanyak 38 kali, 12 diantaranya diterima dan dikabulkan
oleh MA. berikut daftar putusan MA yang menerima dan mengabulkan kasasi atas
putusan bebas :
1. 464 K/Pid/2005
2. 1144 K/Pid/2006
3. 1163 K/Pid/2005
4. 1384 K/Pid/2005
5. 1500 K/Pid/2006
6. 1528 K/Pid/2006
7. 1565 K/Pid/2004
8. 2010 K/Pid/2005
9. 2931 K/Pid/2006
10. 341 K/Pid/2006
11. 434 K/Pid/2001
12. 929 K/Pid/2004
Mahkamah
Agung, pada awalnya menyatakan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan
pembebasan dari segala tuduhan tidak dapat diterima, karena dalam memori kasasi
tidak memuat bantahan, bahwa pembebasan tersebut sesungguhnya suatu pelepasan
dari segala tuntutan hukum berdasarkan alasan bahwa pembebasan adalah tidak
murni, juga tidak terdapat keberatan – keberatan bahwa pembebasan termaksud
didasarkan atas tafsiran yang kurang benar atau kurang tepat (Putusan Mahkamah
Agung tanggal 6 Juli 1974 No. 69 K/Kr/1973).
Oleh
Mahkamah Agung dengan putusannya 1974 di atas, permohonan kasasi terhadap
putusan bebas dari tuduhan oleh Jaksa tidak dapat diterima berdasarkan alasan
tersebut di atas, oleh karena Jaksa tidak dapat mengajukan alasan bahwa
pembebasan tersebut adalah tidak murni sifatnya ataukah karena tidak dapat
diajukan bahwa ia merupakan suatu pelepasan dari segala tuntutan hukum yang
terselubung sifatnya.
Karena
putusan bebas murni itu adalah tidak kapabel, maka diperkembangkan oleh
Yurisprudensi dan Ilmu Hukum bahwa permohonan kasasi yang didasarkan atas
putusan yang tidak murni ataupun merupakan suatu “lepas dari segala tuntutan
hukum” yang terselubung masih dapat diajukan sebagai dasar ataupun alasan untuk
mengajukan permohonan kasasi.
Terdapat
suatu konstruksi prosedural dalam putusan Mahkamah Agung, bahwa permohonan
banding oleh Jaksa terhadap putusan bebas seharusnya tidak diterima, sedangkan
dalam tingkatan kasasi Mahkamah Agung masih dapat menerimanya dengan alasan
bahwa putusan bebas itu tidak murni sifatnya.[2]
Permohonan
Jaksa untuk naik banding terhadap putusan bebas tersebut seharusnya dipandang
ditujukan kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat kita simpulkan dari pertimbangan–pertimbangan
dalam putusan Mahkamah Agung antara lain sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa seharusnya terhadap putusan bebas
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri itu, Jaksa langsung mengajukan ke
Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung selaku badan peradilan tertinggi
mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang – undang
di seluruh wilayah negara diterapkan secara adil, yang berarti demi
melaksanakan tugas itu, yang tidak dimiliki oleh Pengadilan Tinggi, suatu
putusan bebas yang mutlak tidak dapat dibanding, masih dapat dimohonkan kasasi
ke Mahkamah Agung.”
Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam pertimbangan:
“…. Mahkamah
Agung menganggap adil apabila apa yang diajukan jaksa yakni mengajukan
keberatan terhadap putusan bebas yang dijatuhkan ke Pengadilan Negeri harus
diartikan sebagai ditujukan ke Mahkamah Agung.”
Meski secara
yuridis normatif tindakan jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan bebas
melanggar undang – undang, dalam hal ini KUHAP, akan tetapi hal ini tetap ada
dalam praktek. ada beberapa alasan Jaksa/Penuntut Umum tetap mengajukan kasasi terhadap
putusan bebas antara lain :
1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi (Judexfactie) telah salah
menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan
ayat (6) KUHAP ;
2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang-undang ;
3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas
tidak murni”.
Pengertian
putusan pembebasan yang bersifat tidak murni dalam putusan Mahkamah Agung ini,
telah diperluas dari pengertian yang selama ini dianut oleh yurisprudensi lama.
Perluasan pengertian tersebut dalam urusan ini, telah meliputi pelanggaran
batas wewenang yang bukan hanya melampaui batas wewenang dalam arti kompetensi
absolut dan relatif, tetapi meliputi unsur – unsur nonyuridis.[3]
Contoh yang paling mudah menanggapi makna pertimbangan yang tidak berupa unsur
nonyuridis ialah pembebasan terdakwa didasarkan atas alasan pertimbangan
politik, perikemanusiaan, agama, dan sebagainya.
Praktik
pengajuan kasasi terhadap putusan bebas tetap berlangsung dan didukung oleh
banyak ahli hukum. Alasannya Yahya Harahap
berpendapat karena terlampau riskan memberi keluasan yang tidak terbatas
bagi pengadilan tingkat pertama sehubungan dengan putusan bebas. Seolah–olah
pengadilan tersebut berada dalam kedudukan tingkat pertama dan terakhir karena
putusan bebas yang diambilnya tidak dapat diuji oleh instansi manapun. Jika hal
ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan hakim yang mengadili di pengadilan
tingkat pertama melakukan penyalahgunaan wewenang ditambah dengan adanya asas Nebis in Idem yang membuat perkara itu
tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kasasi
terhadap putusan bebas sebenarnya bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP, namun
dengan adanya putusan bebas tidak murni atau pembebasan terdakwa didasarkan
atas alasan pertimbangan politik, perikemanusiaan, agama, dan sebagainya (karena
non yuridis) maka kasasi dapat diberlakukan. Dengan
diberikannya kesempatan melalui kasasi, putusan hakim dapat dikoreksi dan juga
diharapkan tidak terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam memberikan atau
menjatuhkan putusan.
Saran
Untuk masa
yang akan datang mestinya dilakukan reformulasi terhadap esensi Pasal 244 KUHAP
tersebut, yakni bahwa Jaksa Penuntut Umum hendaknya diberikan hak untuk
mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas sehingga ada kepastian
hukum bagi para pencari keadilan.
Daftar Pustaka
Frans
Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
1985.
Oemar Seno
Adji, KUHAP Sekarang, Erlangga,
Jakarta, 1989.
0 comments:
Post a Comment